Dia Bukanlah Seorang Guru

Ruang kelas praktik yang penuh dengan mesin dan kayu-kayu itu terasa bersahabat untuk kami sebelum kejadian itu menimpa. Tiga minggu sebelumnya, Anton dan teman-temannya tak pernah ada rasa takut, tak pernah ada rasa cemas dan tak pernah ada rasa resah memasuki ruangan tersebut. Semua kegiatan praktik berjalan normal layaknya sebuah sekolah yang sedang melakukan kegiatan praktik. Hari ini adalah jadwalnya belajar mengetam kayu. Semua murid dari nomor absen pertama hingga terakhir diwajibkan untuk mencoba belajar mengetam kayu.

Satu, dua, tiga hingga enam orang maju secara bergantian, lalu tiba saatnya Andik dan Anton maju. Andik mendapat giliran berikutnya sedangkan Anton tepat berada disamping Andik untuk menunggu giliran selanjutnya. Sret…sret…sret…irama suara ketam menyerut kayu terdengar. Lima menit setelah itu, Andik menunjukan hasil ketamannya kepada guru praktik perkayuan dan terlihat berdiskusi setelahnya. Anton yang saat itu mendapat giliran mengetam, menjalankan tugasnya. Saat sedang mengetam kayu sepintas muncul dalam  pikiran Anton, ada gelagat aneh  terhadap diskusi antara Andik dan guru praktiknya tersebut. Akan tetapi, murid-murid lain yang berada di mejanya masing-masing tidak menyadari kejanggalan tersebut. Mereka sibuk ngobrol dan ada juga yang sibuk memainkan jari-jemarinya di telepon selular sembari menunggu giliran maju. Tiba-tiba kejadian yang tidak diinginkan terjadi. Dorongan, tendangan dan pukulan menghujam tubuh Andik yang kurus. Sontak Anton dan murid-murid lain kaget melihatnya.

Suasana menjadi mencekam seketika. Hanya terdengar rengekan suara Andik yang berusaha meminta maaf kepada guru praktik tersebut . Melihat guru yang selama ini dikenal terlihat baik dan tidak mudah marah, Anton dan lainnya terdiam. “Entah saya tidak tahu apa yang sebenarnya dikatakan Andik kepada guru praktik itu, tapi apapun kesalahan Andik, tidak sepantasnya seorang guru bertindak di luar batas seperti itu, menghajar muridnya sendiri, ”ujar Anton dalam hati.

Minggu kelabu itu telah berlalu, hari ini Anton dan teman sekelasnya harus kembali berhadapan dengan “the cool killer”,–begitulah Anton dan kawan-kawannya menjuluki guru praktik yang minggu lalu menghajar salah satu teman mereka. Ruangan itu tak lagi bersuara banyak, The cool killer juga tidak berbicara panjang lebar, ia hanya bicara tentang materi praktik hari ini. Anton pun berusaha menyimak dan mendengarkan apa yang dijelaskan gurunya tersebut. Tanpa terasa praktik hari ini telah selesai. Anton dan murid-murid lainnya merasakan kelegaan luar biasa,karena tidak terjadi peristiwa kelam seperti minggu lalu.

Satu persatu murid keluar dan mencium tangan the cool killer. Namun, ketika Putu, sang ketua kelas dan Anton hendak mencium tangan the cool killer, dengan lirih guru praktik itu berkata ”berdiri di samping saya dulu kalian berdua.” Mendengar perkataan tersebut, Jantung Anton dan Putu berdegup kencang dan bertanya dalam hati, ada apa ini?

Setelah semua teman sekelas mereka keluar, Anton dan Putu lalu diajak masuk oleh the cool killer ke ruangannya. Ternyata masalahnya sepele, The cool Killer hanya berkata, “Mengapa kalian menatap mata saya tadi, kalian homo.”

Mendengar ucapan gurunya itu, Anton membantah anggapan gurunya tersebut. “Saya memang begitu pak, kalau guru sedang menjelaskan materi pelajaran, pasti saya akan menatap matanya, agar dapat menangkap maksud penjelasannya!” ucap Anton lantang. Berbeda dengan Anton yang meledak-ledak, dengan menundukan kepala Putu hanya berkata, “Sama seperti yang dikatakan Anton pak.”

Namun, the cool killer tetap saja tidak dapat menerima penjelasan mereka berdua. Dengan pembawaan sikapnya yang dingin dan suara yang lirih, the cool killer lalu berkata, “Kalau kalian menatap mata saya berarti kalian itu menantang saya, jangankan kalian yang masih seumur jagung, polisi atau ABRI pun apabila ada yang menghina dan menantang saya, saya kejar kemanapun, bahkan bila perlu saya bunuh mereka.”

Anton yang semula meledak-ledak emosinya, mendadak sekujur tubuhnya lemas dan hilang nyalinya. Jantung Anton pun seakan berhenti mendengar satu kata terakhir yang diucapkan gurunya tersebut. Mulut Anton membisu hanya hati kecilnya yang dapat bicara. sambil menahan air matanya, Anton dalma hati berkata,”Apakah ini yang dinamakan seorang guru? Apakah ia pantas dijadikan panutan layaknya guru-guru yang lain? Lalu, kenapa aku harus bertemu dengan guru yang seperti ini. Apakah aku dan teman-teman akan tahan belajar dengan situasi ketakutan seperti ini seterusnya? Dia bukanlah seorang guru untuk kami Tuhan.

Written : YooCaio


Tinggalkan komentar